Sekian lama aktif di Rohis, saya mengalami evolusi pemikiran tentang akhwat. Dari sebuah kata yang netral “akhwat” yang artinya “saudara perempuan” menjelma menjadi kata yang penuh nuansa haroki, perjuangan dan ideologis.
Dulu saya kira semua perempuan yang berjilbab sudah dapat dikategorikan sebagai akhwat. Simpel. Sesimpel saya mendefinisikan ikhwan sebagai “lelaki yang aktif di organisasi Islam dan berakhlak baik”. Tapi ternyata kenyataan yang ada tidak sesimpel pemikiran atau tesis saya tersebut.
“Kok si fulanah nggak diajak?” tanya saya menjelang rapat rohis SMA kepada seorang rekan kerja yang berjilbab.
Spontan akhwat itu menukas,”Antum gimana sih? Dia kan bukan akhwat!”
Saya bingung. Berjilbab tapi bukan akhwat.”Lho? Kenapa?”
“Habis dia masih sering pake jeans!” jelas si akhwat tegas. Saya manggut-manggut. Mulai paham, meski agak bingung juga.
Seiring waktu, saya menyadari betapa kompleks istilah “akhwat” itu. Dari kata ‘akhwat” terdapat beragam penafsiran dan jenjang. Secara sosiologis, ada tiga derajat akhwat:
1. Akhwat ‘ammah (asal kata: ‘amm, biasa atau umum). Ini umumnya predikat bagi kaum Muslimah yang baru mulai aktif dalam kegiatan keislaman atau rohis. Mereka rata-rata belum berjilbab. tapi setidaknya berpakaian sopan dan panjang-panjang.
2. Akhwat hanif (lurus). Ini istilah bagi Muslimah yang sudah berjilbab namun perilakunya belum sesuai dengan jilbabnya, misal: masih pacaran, masih mejeng atau nyontek de el el. Tapi kadang Muslimah yang belum berjilbab pun digolongkan dalam kategori ini, tergantung kadar komitmennya, katanya. Umumnya akhwat jenis ini sudah rutin atau punya akses ikut pengajian tarbiyah atau mentoring.
3. Akhwat (tanpa embel-embel!). Ini derajat tertinggi, akhwat idaman. Kriteria umumnya: berjilbab panjang dan lebar bak taplak meja; aktif tarbiyah atau liqo’ dan sangat ketat dalam perilaku keseharian. Inilah garda terdepan dalam motor organisasi dan sudah dapat merekrut dan membimbing dua tipe akhwat sebelumnya. Inilah kader-kader terpilih yang siap tempur siang malam untuk sebuah qoror (perintah) tanzhim (jalur organisasi), dan siap pasang badan dipukuli aparat dalam aksi-aksi demonstrasi massa atau beradu argumentasi di forum-forum diskusi..
Konon jenjang ikhwan juga tak jauh berbeda, kendati lebih simpel. Sesimpel pakaian rekan-rekan kuliah saya: baju koko atau kemeja lengan panjang, celana bahan di atas mata kaki dan sepatu sandal atau sandal gunung. Ada yang bergaya metropolis atau sedikit metroseksual, sebut saja ia:ikhwan borju!J
Kategorisasi di atas memang tidak resmi dan relatif, namun kongkret. Tidak terucap namun terasa. Akhwat “hanif” umumnya tidak “seketat” akhwat tipe 3 yang selalu berjilbab panjang dan lebar. Akhwat “hanif” apalagi akhwat “‘ammah” masih sering kedapatan berpakaian yang menonjolkan lekuk tubuh atau bergaya trendy dan modis. Implikasinya nampak pada perilaku keseharian baik pada perbedaan gaya bicara, selera obrolan atau jenis kegiatan pengisi waktu. Kosakata di kalangan jilbaber juga kaya dengan istilah-istilah semisal “jilbab trendy”; “jilbab modis” atau “akhwat macho” dll. Yang sayangnya kerap membuat jarak antara ketiga kelompok tersebut.
Ada kasus seorang Muslimah yang berniat betul mempelajari Islam melalui mentoring mendadak futur (istilah untuk Dropped Out) dari kegiatan pekanan itu hanya karena tidak tahan disindir rekan satu lingkarannya karena masih senang pakai jeans atau hobi mendengarkan musik pop atau musik Barat. Atau karena kepergok nonton di bioskop 21 semata-mata karena dia moviefreak. Kendati ia hanya nonton sendirian. Banyak lagi kasus-kasus yang tampaknya sepele, namun cukup banyak terjadi. Padahal karya Dr. Yusuf Qaradhowi Fiqhul Awlawiyat, Fikih Prioritas, sudah jadi bacaan wajib, tapi entah mengapa asas fiqh muwazanat (pertimbangan sesuai kondisi dakwah dan lokalitas) kerap diabaikan. Inilah yang kerap mengganggu citra ikhwan dan akhwat yang sejatinya adalah orang-orang yang tulus-ikhlas, penuh cinta dan berdisiplin spartan. I swear by the God!
Ah, sampai sekarang kata “akhwat” itu masih terdengar rumit bagi saya, mungkin serumit dunianya. Namun, yang mesti jadi pegangan bersama adalah bahwa ukhuwah itu lebih utama, karena nahnu muslimun qobla kulli sya’iin, kita adalah Muslim/Muslimah sebelum segala sesuatu. Selama masih berpegang pada satu Allah dan satu Qur’an dan mengakui Nabi Muhammad sebagai khotamun nabiyyin (nabi penutup), itulah Muslim/Muslimah yang punya hak-hak untuk dihargai dan dikasihi. Inilah basis untuk menyayangi orang lain di luar diri kita atau golongan kita. Inilah sebuah basis kasih sayang universal.
“Islam itu mudah, maka masukilah dengan mudah.” (Al Hadits).
_maiyatullah_^^
0 komentar:
Posting Komentar